Ririn Marisa
Total Tayangan Halaman
Senin, 02 Desember 2013
Minggu, 01 Desember 2013
Suku Mandailing
Asal Usul Nama Mandailing
Kakawin Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca
merupakan salah satu sumber yang penting bagi bangsa Indonesia, karena isinya
menyangkut berbagai hal berkenaan dengan kerajaan Mojopahit. Dan di dalam syair
ke 13 kakawin tersebut dikatakan:
"Lwir ning nusa pranusa pramuka sakahawat ksoni ri Malayu/ning Jambi mwang Palembang karitang i Teba len Dharmacraya tumut/Kandis Kahwas Manangkabwa ri Siyak i Rekan Kampar mwang i Pane/Kampe Harw athawe Mandahiling i Tumihang Parlak mwang i Barat".
Syair tersebut merupakan catatan yang dibuat oleh Mpu Prapanca tentang ekspansi Mojopahit ke beberapa wilayah di luar pulau Jawa, di sekitar tahun 1287 Caka (1365M).
Dengan terdapatnya nama Mandahiling (Mandailing) dalam kakawin Negarakertagama itu, dapatlah diketahui bahawa pada abad ke 14 Mandailing telah tersebut-sebut dalam catatan sejarah di Indonesia. Dalam hubungan ini H. Mohammad Said mengatakan: "Memperhatikan bahwa nama Mandailing tidak ada duanya di Indonesia, maka yang dimaksudkan tidak lain dari Mandailing yang lokasinya di Tapanuli Selatan" (H. Mohammad Said..: 6)
Karena ekspansi yang dilakukan Mojopahit ke daerah Malayu, Jambi, Palembang, Teba (Muara Tebo), Dharmacraya, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Panai, Haru dan Mandailing terjadi di sekitar tahun 1365, atau sekitar pertengahan abad ke 14, maka dapatlah diperkirakan bahwa sebelum pertengahan abad ke 14 Mandailing tentu sudah ada. Kemungkinan sebelum terjadinya ekspansi Mojopahit itu telah merupakan satu negeri atau kerajaan yang penting sehingga banyak dikenal. Kalau tidak demikian halnya, kemungkinan sekali Mojopahit tidak akan tertarik untuk menjadikan Mandailing sebagai sasaran untuk perluasan daerahnya di luar pulau Jawa. Sayang sekali tidak terdapat catatan tertulis mengenai keadaan Mandailing di abad ke 14 itu.
Namun demikian, pentingnya negeri atau barangkali kerajaan Mandailing di masa itu, kemungkinan sekali ada hubungannya dengan keadaan negeri itu yang kaya dengan mas. Sebab sejak zaman dahulu kala tanah Mandailing selalu dihubung-hubungkan orang dengan mas, sehingga negeri tersebut dinamakan "tano sere" (tanah mas) dalam crita-cerita lama.
Dalam hubungan ini, dapat dikemukakan bahwa di daerah Mandailing Julu (Kecamatan Kotanopan) sampai sekarang ditemukan tempat-tempat yang bernama "gerabak ni Agom" seperti di sekitar Huta Na Godang. Nama yang demikian itu diberikan kepada bekas tempat-tempat orang Agam (Minangkabau) menambang mas di masa dahulu di Mandailing Julu. Di samping itu, pada masa penjajahan Belanda di daerah Mandailing Julu, yaitu dekat Muarasipongi, pernah dibuka sebuah tambang mas yang diusahakan oleh orang Belanda. Malahan sampai sekarang, banyak penduduk di daerah tersebut yang melakukan pendulangan mas di Sungai Batang Gadis, sebagai mata pencarian tambahan.
Kenyataan yang demikian ini cukup menjadi bukti bahwa Mandailing yang disebut "tano sere" memang kaya dengan mas. Oleh karena itulah barangkali maka sejak beberapa abad yang lalu negeri Mandailing sudah banyak dikenal. Sehingga akhirnya menarik perhatian Mojopahit untuk dijadikan sasaran perluasan daerahnya di luar pulau Jawa seperti yang dicatat oleh Mpu Prapanca dalam kakawin Negarakertagama.
Selain di dalam kakawin Negarakertagama, nama Mandailing sudah disebut-sebut pula di dalam Tonggo-Tonggo Si Boru Deak Parujar, "yang cukup padat isinya sebagai kesusasteraan Toba-tua yang klasik, yang terdiri dari 10 pasal sebagai dasar/fundamendan/atau sumber dari falsafah kebudayaan kemasyarakatan dan kerokhanian dari 'Dalihan Natolu' (Batara Sangti 1977 : 278)
Tonggo-tonggo tersebut berbunyi sebagai berikut:
"Baen ma gondang ni Ompunta, Tuan Humara-Hiri, Si Humara Naboru, par-aji tamba-tua, par-aji pulung-pulungan; sinonduk ni Ompunta Sibaso Nabolon, na marsigantung ditali siubar, na meat di mombang boru".
"Sian tano hondur, tano malambut, tano hulambu jati, sian tano padang bakkil bandailing, tano siogung-ogung; parsirangan ni tano, pardomuan ni aek; Sian i ma dalan laho tu ginjang, partiatan ni Ompunta: Debata Natolu Suhu, Naopat Harajaon tu banua tonga on".
Disi ma parangin-anginan ni Ompunta 'Siboru Deakparujar', sideak uti-utian, sigodang ujar-ujaran:
1. Na manjadihon : ’Gana na so boi tolonan, bulan naso boi oseon’
2. Sian i ma mula ni : ’Dung-dang’
3. Mula ni : ’Sahala’
4. Mula ni : ’Harajaon’
5. Mula ni : ’Gantang tarajuan, Hatian pamonari’
6. Mula ni : ’Pungga si sada ihot’
7. Mula ni : ’Ninggala sibola tali’
8. Sian i ma mula ni : ’Boli ni boru muli dohot si namot ni anak
9. Mula ni : ’Goar ni bao na so boi dohonan’
10. Nunga disihataon i : ’Di ninggor ni ruma, dipagohan di pinggol
ni a-Debata’
Alih bahasa secara bebas dan terbatas ke bahasa Indonesia:
Tonggo-Tonggo Siboru Deakparujar
Palulah gendang dari Empu kita, Tuan Kumarakumari, Si Kumara perempuan, per-aji tambah tua, per-aji ramu-aramuan; suami dari Empu Kita Sibaso Nabolon, yang bergantung pada tali siubar, yang hinggap di mombang boru.
Dari tanah lembah, tanah kelabu sejati, dari tanah bakil Mandailing, tanah yang termasyhur, bagaikan suara yang merdu, perpisahan daripada tanah, pertemuan daripada air: 'Dari situlah tangga jalan ke atas, perturunan daripada Empu Kita: Debata Nan Tiga, Nan Tiga Segi, Nan Empat Kerajaan, ke benua tengah ini'.
Di situlah bertamasya Empu kita Siboru Deakparujar, yang banyak cerdik, yang banyak akal:
1. Yang mengamanatkan : "Tidak boleh makan sumpah, tidak boleh
mengingkari ikrar"
2. Asal mula : "Kepercayaan"
3. Asal mula : "Sahala"
4. Asal mula : "Kerajaan"
5. Asal mula : "Gantang pengukuran, dacing kebenaran"
6. Asal mula : "Gantang pengukuran, dacing kebenaran"
7. Asal mula : "Batu-asahan satu seikat"
8. Asal mula : "Bajak bagai pembelah tali"
9. Di situlah asalmula : "Penerimaan beli atas perkahwinan anak
perempuan dan pembayaran jujuran bagi
perkahwinan anak lelaki"
10. Asal mula : "Nama besan yang tak boleh disebut"
11. Hari ini dinukilkan : "Pada kuda-kuda rumah-Batak asli,
dipacakkan batu barani dan di kuping kuda dewata"
(Batara Sangti 1977 : 278).
Kita tidak mengetahui kapan "tonggo-tonggo Siboru Deakparujar" itu tercipta atau diciptakan. Yang kita ketahui ialah bahwa Siboru Deakparujar adalah tokoh mitologi dalam kebudayaan Toba. Menurut mitologi Toba, Siboru Deakparujar adalah puteri Debata Mulajadi Nabolon, yang dititahkannya turun dari benua atas ke benua tengah membawa sekepal tanah, untuk menempa bumi di atas lautan.
Dalam usahanya menempa bumi, Siboru Deakparujar mendapat gangguan dari Naga Padoha (Raja Padoha), tetapi akhirnya dia berhasil menyelesaikan tugasnya itu. Kemudian Debata Mulajadi Nabolon menitahkan Siraja Odap-odap turun ke bumi untuk mnjadi suami Siboru Deakparujar. Dari perkahwinan Siboru Deakparujar dengan Siraja Odap-odap, lahirlah seorang putera yang bernama Siraja Ihatmanusia, dan seorang puteri yang bernama Siboru Ihatmanusia. Kedua bersaudara tersebut kawin dan kemudian mendapat tiga orang putera. Masing-masing Siraja Miok-miok, Patundal Nabegu dan Siraja Lapas-lapas. Dari keturunan Siraja Miok-miok kemudian hari lahirlah Siraja Batak, yang dipandang sebagai nenek moyang orang Batak.
Menurut Batara Sangti, tonggo-tonggo ialah doa yang disusun secara puitis dan diucapkan waktu sajian besar dan kecil. (Batara Sangti 1977 : 270). Dalam tonggo-tonggo Siboru Deakparujar jelas disebutkan bahwa "tanah bakil Mandailing tanah yang termasyhur, bagaikan suara gung yang merdu (suara gong yang merdu biasanya menarik perhatian dan dapat didengar sampai ke tempat yang jauh - penulis). Dari situlah (dari tanah Mandailing - penulis) jalan ke atas, perturunan (tempat turun - penulis) dari Empu kita: Debata Nan Tiga, Nan Tiga Segi, Nan Empat Kerajaan, ke benua tengah (ke bumi - penulis) ini" (Batara Sangti 1977 : 277).
Berdasarkan tonggo-tonggo (doa) tersebut, jelaslah bahwa sejak zaman dahulu kala (sejak adanya tokoh mitologi Siboru Deakparujar), orang Toba (Batak) telah mengakui kemasyhuran tanah Mandailing. Lebih penting dari itu, tonggo-tonggo Siboru Deakparujar dengan jelas menyebutkan pula bahwa tanah Mandailing merupakan tempat tangga jalan ke atas (kayangan), dan menjadi tempat turun Dewa (Debata Nan Tiga) ke benua tengah (bumi) ini.
Selanjutnya tonggo-tonggo tersebut menyatakan pula bahwa "di situlah" (di tanah Mandailing) bertamasya Siboru Deakparujar. Dengan demikian dapat ditapsirkan bahwa kemungkinan sekali justru di tanah Mandailing itu pulalah Siboru Deakparujar turun dari kayangan. Sebab tonggo-tonggonya menyebutkan "dari situlah (dari tanah Mandailing) tangga jalan ke atas (kayangan)". Oleh karena itu, tidak tertutup pula kemungkinan bahwa di tanah Mandailing pulalah Siboru Deakparujar kawin dengan Siraja Odap-adap. Selanjutnya keturunan mereka lahir dan berkembang di tempat tersebut. Kemudian dapat dikemukakan hipotesis, bahwa setelah keturunan Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-odap berkembang di tanah Mandailing, generasi selanjutnya dari keturunan mereka, seperti misalnya Siraja Batak (keturunan generasi ke empat dari Siraja Miok-miok, atau generasi ke enam dari keturunan Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-odap) pindah ke tempat lain meninggalkan tanah Mandailing dan pergi ke tanah Toba. Kemudian di tempat itu ia berkembang. Dengan kata lain, berdasarkan penapsiran terhadap tonggo-tonggo Siboru Deakparujar, nenek moyang Siraja Batak, mulai dari Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-adap sampai kepada Guru Tantan Debata, yaitu ayah dari Siraja Batak sendiri, setelah besar kemudian meninggalkan tempat tersebut dan pergi ke tempat lain (tanah Toba).
Demikianlah hipotesis yang dapat ditarik dari penapsiran atas mitologi Siboru Deakparujar dan tonggo-tonggonya seperti yang telah diluraikan di atas.
Seperti yang telah dikemukakan terdahulu, nama Mandailing sudah disebut dalam kitab Negarakertagama di sekitar pertengahan abad ke 14. Namun demikian, sampai sekarang belum diperoleh satu kepastianpun tentang asal-usul nama tersebut. Tetapi ada beberapa pendapat yang pernah dikemukakan mengenai kemungkinan asal-usul nama Mandailing. Misalnya Dada Meuraxa menyatakan bahwa nama Mandailing ada yang menduga berasal dari perkataan "Mande Hilang". Dalam bahasa Minangkabau, perkataan tersebut berarti "ibu yang hilang". Selanjutnya ia menyatakan pula bahwa ada yang menyangka nama Mandailing berasal dari perkataan "Mundailing", yang berarti "Munda yang mengungsi". Dalam hubungan ini disebut bahwa bangsa Munda di India pada masa yang silam melakukan pengungsian karena mereka terdesak oleh bangsa Aria. Tentang terdesaknya bangsa Munda oleh bangsa Aria Prof. Dr. Slametmulyana mengatakan: "Sebelum kedatangan bangsa Aria, bangsa Munda menduduki India Utara. Karena desakan bangsa Aria, maka bangsa Munda menyingkir ke selatan. Pendudukan bangsa Aria itu terjadi di sekitar tahun 1500 sebelum Masehi. Bangsa Munda pindah ke luar dari daerah India menuju Assam dan Asia Tenggara, setelah terjadi pendudukan lembah sungai Gangga oleh bangsa Aria dalam keseluruhannya". (Slamet Mulyana 1964 : 140).
Dalam perpindahan bangsa Munda dari India Utara ke Asia Tenggara karena terdesak oleh bangsa Aria, kemungkinan ada sebahagian yang sampai ke Sumatera. Dan melalui pelabuhan Barus di pantai barat Sumatera mereka meneruskan perjalannya sampai ke suatu daerah yang kemudian disebut sebagai Mandailing, yang berasal dari perkataan "Mundailing" yang berarti "Munda yang mengungsi" (meninggalkan negeri asalnya), seperi yang dikemukakan Dada Meuraxa tersebut di atas. (Lihat buku Dada Meuraxa "Sejarah Kebudayaan Sumatera").
Mengenai jalan masuk bangsa Munda tersebut dari pantai barat Sumatera, yaitu pelabuhan Barus, dapat diingat bahwa tempat tersebut beberapa abad sebelum tahun Masehi memang sudah banyak didatangi berbagai bangsa, dan menjadi pelabuhan yang sangat terkenal karena kapur barusnya. Dan di Barus pada masa yang lalu pernah terdapat koloni orang Tamil yang juga berasal dari India.
Dada Meuraxa menyatakan pula bahwa ada yang menyebut asal nama Mandailing ialah (perkataan) Mandalay, yaitu nama satu ibu kota di Birma.
Dalam hubungan ini dapat kita lihat pendapat Drs. T.E. Tarigan dan Emilkam Tambunan yang menyatakan bahwa "Di Birma Utara terdapat satu kota pusat peradaban dan pemerintah yang bernama Mandalay yang hampir sama dengan Mandailing di Tapanuli Selatan" (1974 : 17).
Dari sisi lain kiranya pendapat yang mengatakan nama Mandailing berasal dari perkataan "Mundailing" (=Munda yang mengungsi) dapat dihubungkan dengan pendapat yang mengatakan bahwa nama Mandailing berasal dari perkataan "Mandalay". Barangkali bangsa Munda yang didesak dari negeri mereka di India tidak langsung pindah ke Sumatera. Tetapi untuk satu kurun waktu mereka lebih dahulu hidup di daerah Birma atau Mandalay. Dikemudian hari dari Mandalay baru mereka pindah ke Sumatera, dan memasuki daerah Mandailing melalui jalan seperti yang dikemukakan di atas.
Proses perpindahan orang Munda dari Mandalay ke Sumatera (Mandailing) dapat pula dihubungkan dengan terjadinya perpindahan bangsa-bangsa dari Asia Selatan atau India Belakang ke wilayah Indonesia di masa lebih dari 1000 tahun sebelum Masehi. Menurut Mangaradja Onggang Parlindungan dalam bukunya yang berjudul "Tuanku Rao", perpindahan itu terjadi karena desakan bangsa Mongol dari utara. Ia mengatakan bahwa ada orang-orang dari Birma Selatan yang berlayar ke Indonesia dan sebahagian tiba di Sumatera.
Kemungkinan dalam proses perpindahan yang demikian itu, orang-orang Munda dari India yang pada mulanya berdiam di Mandalay (Birma Utara) karena terdesak oleh bangsa Mongol pindah ke Birma Selatan, dan karena terdesak terus merekapun berlayar ke Indonesia dan sebagian tiba di Sumatera dan menempati satu daerah yang kemudian dikenal sebagai daerah Mandailing.
Sekarang marilah kita lihat pula pendapat Mangaraja Lelo Lubis tentang asal-usul nama Mandailing, seperti yang dikemukakannya di dalam bukunya "Sopo Godang" dan Silipi Mandailing".
Di dalam buku tersebut dikemukakan oleh Mangaraja Lelo Lubis bahwa menurut cerita orang-orang tua, nama Mandailing berasal dari perkataan ”Mandala Holing”. Pada masa yang lalu ”Mandala Holing” adalah satu kerajaan yang meliputi daerah mulai dari Portibi di Padang Lawas sampai ke Pidoli di Mandailing (dekat Panyabungan yang sekarang). Pada mulanya pusat kerajaan tersebut terletak di Portibi, tempat ditemukan banyak candi=candi purba. Karena desakan Majapahit, maka kemudian dikenal sebagai Pidoli, yang letaknya tidak jauh dari Panyabungan: Pada masa yang lalu di Pidoli terdapat juga candi-candi. Sisa=sisanya antara lain terletak di satu tempat yang bernama ”Saba Biara”, di sekitar Pidoli.
Dalam hubungan ini dapat diingat bahwa candi-candi yang di Portibi, dinamakan orang juga ”candi biara atau biaro”. Perkataan biara itu kemungkinan sekali berasal dari ”vihara” yang berarti tempat peribadatan bagi agama Budha.
Kemungkinan adanya di masa yang lalu kerajaan yang bernama "Mandala Holing" di Tapanuli Selatan seperti yang dikemukakan oleh Mangaraja Lelo itu, dapat dihubungkan dengan ekspansi Majapahit untuk menguasai daerah atau kemungkinan kerajaan yang disebut dalam kitab Negarakertagama sebagai "Mandahiling". Kalau kerajaan "Mandala Holing" itu dihubungkan dengan candi-candi di Portibi, kiranya perlu diingat bahwa ada peneliti yang menyebut bahwa candi-candi tersebut dibangun sejak abad ke 10. Dan ada pula yang menyebutnya pada abad yang ke 11. Malahan ada pula yang menyebutnya pembangunan candi-candi tersebut dimulai abad ke 5. Sampai sekarang memang belum ada kepastian tentang masa pembangunan candi-candi di Portibi tersebut.
Kalau kerajaan "Mandala Holing" itu adalah identik dengan daerah atau kerajaan Mandahiling yang disebut dalam kitab Negarakertagama, maka dapat dicatat bahwa ekspansi Majapahit terhadap kerajaan itu terjadi di sekitar pertengahan abad ke 14.
Perkataan "Holing" ada disebut-sebut di dalam masyarakat Mandailing hingga sekarang. Perkataan tersebut dihubungkan dengan perkataan "Surat Tumbago". Tetapi belum ada keterangan yang memadai apa yang dimaksudkan dengan "Surat Tumbago Holing" itu. Menurut keterangan Mangaraja Lelo Lubis kepada penulis, "Surat Tumbago Holing" ialah surat yang dibuat oleh Sang Hiyang Dipertuan Huta Siantar dengan Belanda. Kalau memang itulah yang dimaksudkan dengan "Surat Tumbago Holing", berarti surat tersebut baru lahir pada abad ke 19. Karena pada abad itulah Belanda memasuki daerah Mandailing. Penggunaan nama "Surat Tumbago Holing" untuk surat perjanjian yang dibuat oleh Sang Hiyang Dipertuan Huta Siantar dengan Belanda di abad yang lalu, barangkali didasarkan oleh Sang Hiyang Dipertuan atas asosiasinya terhadap "Surat Tumbago Holing" yang mungkin pernah dibuat pada masa kerajaan "Mandala Holing" yang banyak disebut-sebut di tengah masyarakat Mandailing.
Masih ada keterangan lain yang dikemukakan oleh Mangaraja Lelo Lubis tentang asal usul nama Mandailing. Yaitu bahwa nama Mandailing berasal dari perkataan "Mandala Hilang". Dalam hal ini dijelaskan bahwa pada suatu masa orang-orang Mandala yakni orang-orang "koling" (keling) mendiami wilayah Mandailing. Pada waktu bangsa Melayu memasuki daerah tersebut, orang-orang Mandala (koling=keling) pergi ke tempat lain. Oleh karena itu orang-orang Melayu mengatakan "Mandala Hilang". Dan lama kelamaan sebutan itu berubah menjadi "Mandailing".
Dengan adanya pendapat yang demikian ini, kita terdorong untuk berpikir, apakah tidak mungkin bahwa yang dimaksud dengan orang-orang Mandala (koling) itu adalah orang-orang yang pada masa dahulu kala datang dari Mandalay (Birma) ke Wilayah Mandailing. Dan orang-orang yang datang dari Mandalay itu tidak lain dari orang-orang Munda yang pada mulanya mengungsi dari India ke Birma karena didesak oleh bangsa Aria seperi yang telah dikemukakan terdahulu dalam tulisan ini. Dalam hubungan ini nama "Mandala" berdekatan benar dngan nama "Mandalay".
Semua pikiran itu masih bersifat hipotesis dan masih memerlukan penelitian yang lebih mendalam. Demikian juga halnya dengan asal-usul nama Mandailing. Oleh karena itu masaalah ini dapat ditempatkan sebagai tantangan bagi putera-puteri Mandailing untuk diteliti lebih lanjut. Mudah-mudahan saja ada di antara mereka yang berminat untuk menelitinya, sehingga asal-usul nama Mandailing itu tidak tinggal menjadi teka-teki untuk selamanya.
Dipetik dari buku KISAH ASAL- USUL MARGA DI MANDAILING karya Z. Pangaduan Lubis
"Lwir ning nusa pranusa pramuka sakahawat ksoni ri Malayu/ning Jambi mwang Palembang karitang i Teba len Dharmacraya tumut/Kandis Kahwas Manangkabwa ri Siyak i Rekan Kampar mwang i Pane/Kampe Harw athawe Mandahiling i Tumihang Parlak mwang i Barat".
Syair tersebut merupakan catatan yang dibuat oleh Mpu Prapanca tentang ekspansi Mojopahit ke beberapa wilayah di luar pulau Jawa, di sekitar tahun 1287 Caka (1365M).
Dengan terdapatnya nama Mandahiling (Mandailing) dalam kakawin Negarakertagama itu, dapatlah diketahui bahawa pada abad ke 14 Mandailing telah tersebut-sebut dalam catatan sejarah di Indonesia. Dalam hubungan ini H. Mohammad Said mengatakan: "Memperhatikan bahwa nama Mandailing tidak ada duanya di Indonesia, maka yang dimaksudkan tidak lain dari Mandailing yang lokasinya di Tapanuli Selatan" (H. Mohammad Said..: 6)
Karena ekspansi yang dilakukan Mojopahit ke daerah Malayu, Jambi, Palembang, Teba (Muara Tebo), Dharmacraya, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Panai, Haru dan Mandailing terjadi di sekitar tahun 1365, atau sekitar pertengahan abad ke 14, maka dapatlah diperkirakan bahwa sebelum pertengahan abad ke 14 Mandailing tentu sudah ada. Kemungkinan sebelum terjadinya ekspansi Mojopahit itu telah merupakan satu negeri atau kerajaan yang penting sehingga banyak dikenal. Kalau tidak demikian halnya, kemungkinan sekali Mojopahit tidak akan tertarik untuk menjadikan Mandailing sebagai sasaran untuk perluasan daerahnya di luar pulau Jawa. Sayang sekali tidak terdapat catatan tertulis mengenai keadaan Mandailing di abad ke 14 itu.
Namun demikian, pentingnya negeri atau barangkali kerajaan Mandailing di masa itu, kemungkinan sekali ada hubungannya dengan keadaan negeri itu yang kaya dengan mas. Sebab sejak zaman dahulu kala tanah Mandailing selalu dihubung-hubungkan orang dengan mas, sehingga negeri tersebut dinamakan "tano sere" (tanah mas) dalam crita-cerita lama.
Dalam hubungan ini, dapat dikemukakan bahwa di daerah Mandailing Julu (Kecamatan Kotanopan) sampai sekarang ditemukan tempat-tempat yang bernama "gerabak ni Agom" seperti di sekitar Huta Na Godang. Nama yang demikian itu diberikan kepada bekas tempat-tempat orang Agam (Minangkabau) menambang mas di masa dahulu di Mandailing Julu. Di samping itu, pada masa penjajahan Belanda di daerah Mandailing Julu, yaitu dekat Muarasipongi, pernah dibuka sebuah tambang mas yang diusahakan oleh orang Belanda. Malahan sampai sekarang, banyak penduduk di daerah tersebut yang melakukan pendulangan mas di Sungai Batang Gadis, sebagai mata pencarian tambahan.
Kenyataan yang demikian ini cukup menjadi bukti bahwa Mandailing yang disebut "tano sere" memang kaya dengan mas. Oleh karena itulah barangkali maka sejak beberapa abad yang lalu negeri Mandailing sudah banyak dikenal. Sehingga akhirnya menarik perhatian Mojopahit untuk dijadikan sasaran perluasan daerahnya di luar pulau Jawa seperti yang dicatat oleh Mpu Prapanca dalam kakawin Negarakertagama.
Selain di dalam kakawin Negarakertagama, nama Mandailing sudah disebut-sebut pula di dalam Tonggo-Tonggo Si Boru Deak Parujar, "yang cukup padat isinya sebagai kesusasteraan Toba-tua yang klasik, yang terdiri dari 10 pasal sebagai dasar/fundamendan/atau sumber dari falsafah kebudayaan kemasyarakatan dan kerokhanian dari 'Dalihan Natolu' (Batara Sangti 1977 : 278)
Tonggo-tonggo tersebut berbunyi sebagai berikut:
"Baen ma gondang ni Ompunta, Tuan Humara-Hiri, Si Humara Naboru, par-aji tamba-tua, par-aji pulung-pulungan; sinonduk ni Ompunta Sibaso Nabolon, na marsigantung ditali siubar, na meat di mombang boru".
"Sian tano hondur, tano malambut, tano hulambu jati, sian tano padang bakkil bandailing, tano siogung-ogung; parsirangan ni tano, pardomuan ni aek; Sian i ma dalan laho tu ginjang, partiatan ni Ompunta: Debata Natolu Suhu, Naopat Harajaon tu banua tonga on".
Disi ma parangin-anginan ni Ompunta 'Siboru Deakparujar', sideak uti-utian, sigodang ujar-ujaran:
1. Na manjadihon : ’Gana na so boi tolonan, bulan naso boi oseon’
2. Sian i ma mula ni : ’Dung-dang’
3. Mula ni : ’Sahala’
4. Mula ni : ’Harajaon’
5. Mula ni : ’Gantang tarajuan, Hatian pamonari’
6. Mula ni : ’Pungga si sada ihot’
7. Mula ni : ’Ninggala sibola tali’
8. Sian i ma mula ni : ’Boli ni boru muli dohot si namot ni anak
9. Mula ni : ’Goar ni bao na so boi dohonan’
10. Nunga disihataon i : ’Di ninggor ni ruma, dipagohan di pinggol
ni a-Debata’
Alih bahasa secara bebas dan terbatas ke bahasa Indonesia:
Tonggo-Tonggo Siboru Deakparujar
Palulah gendang dari Empu kita, Tuan Kumarakumari, Si Kumara perempuan, per-aji tambah tua, per-aji ramu-aramuan; suami dari Empu Kita Sibaso Nabolon, yang bergantung pada tali siubar, yang hinggap di mombang boru.
Dari tanah lembah, tanah kelabu sejati, dari tanah bakil Mandailing, tanah yang termasyhur, bagaikan suara yang merdu, perpisahan daripada tanah, pertemuan daripada air: 'Dari situlah tangga jalan ke atas, perturunan daripada Empu Kita: Debata Nan Tiga, Nan Tiga Segi, Nan Empat Kerajaan, ke benua tengah ini'.
Di situlah bertamasya Empu kita Siboru Deakparujar, yang banyak cerdik, yang banyak akal:
1. Yang mengamanatkan : "Tidak boleh makan sumpah, tidak boleh
mengingkari ikrar"
2. Asal mula : "Kepercayaan"
3. Asal mula : "Sahala"
4. Asal mula : "Kerajaan"
5. Asal mula : "Gantang pengukuran, dacing kebenaran"
6. Asal mula : "Gantang pengukuran, dacing kebenaran"
7. Asal mula : "Batu-asahan satu seikat"
8. Asal mula : "Bajak bagai pembelah tali"
9. Di situlah asalmula : "Penerimaan beli atas perkahwinan anak
perempuan dan pembayaran jujuran bagi
perkahwinan anak lelaki"
10. Asal mula : "Nama besan yang tak boleh disebut"
11. Hari ini dinukilkan : "Pada kuda-kuda rumah-Batak asli,
dipacakkan batu barani dan di kuping kuda dewata"
(Batara Sangti 1977 : 278).
Kita tidak mengetahui kapan "tonggo-tonggo Siboru Deakparujar" itu tercipta atau diciptakan. Yang kita ketahui ialah bahwa Siboru Deakparujar adalah tokoh mitologi dalam kebudayaan Toba. Menurut mitologi Toba, Siboru Deakparujar adalah puteri Debata Mulajadi Nabolon, yang dititahkannya turun dari benua atas ke benua tengah membawa sekepal tanah, untuk menempa bumi di atas lautan.
Dalam usahanya menempa bumi, Siboru Deakparujar mendapat gangguan dari Naga Padoha (Raja Padoha), tetapi akhirnya dia berhasil menyelesaikan tugasnya itu. Kemudian Debata Mulajadi Nabolon menitahkan Siraja Odap-odap turun ke bumi untuk mnjadi suami Siboru Deakparujar. Dari perkahwinan Siboru Deakparujar dengan Siraja Odap-odap, lahirlah seorang putera yang bernama Siraja Ihatmanusia, dan seorang puteri yang bernama Siboru Ihatmanusia. Kedua bersaudara tersebut kawin dan kemudian mendapat tiga orang putera. Masing-masing Siraja Miok-miok, Patundal Nabegu dan Siraja Lapas-lapas. Dari keturunan Siraja Miok-miok kemudian hari lahirlah Siraja Batak, yang dipandang sebagai nenek moyang orang Batak.
Menurut Batara Sangti, tonggo-tonggo ialah doa yang disusun secara puitis dan diucapkan waktu sajian besar dan kecil. (Batara Sangti 1977 : 270). Dalam tonggo-tonggo Siboru Deakparujar jelas disebutkan bahwa "tanah bakil Mandailing tanah yang termasyhur, bagaikan suara gung yang merdu (suara gong yang merdu biasanya menarik perhatian dan dapat didengar sampai ke tempat yang jauh - penulis). Dari situlah (dari tanah Mandailing - penulis) jalan ke atas, perturunan (tempat turun - penulis) dari Empu kita: Debata Nan Tiga, Nan Tiga Segi, Nan Empat Kerajaan, ke benua tengah (ke bumi - penulis) ini" (Batara Sangti 1977 : 277).
Berdasarkan tonggo-tonggo (doa) tersebut, jelaslah bahwa sejak zaman dahulu kala (sejak adanya tokoh mitologi Siboru Deakparujar), orang Toba (Batak) telah mengakui kemasyhuran tanah Mandailing. Lebih penting dari itu, tonggo-tonggo Siboru Deakparujar dengan jelas menyebutkan pula bahwa tanah Mandailing merupakan tempat tangga jalan ke atas (kayangan), dan menjadi tempat turun Dewa (Debata Nan Tiga) ke benua tengah (bumi) ini.
Selanjutnya tonggo-tonggo tersebut menyatakan pula bahwa "di situlah" (di tanah Mandailing) bertamasya Siboru Deakparujar. Dengan demikian dapat ditapsirkan bahwa kemungkinan sekali justru di tanah Mandailing itu pulalah Siboru Deakparujar turun dari kayangan. Sebab tonggo-tonggonya menyebutkan "dari situlah (dari tanah Mandailing) tangga jalan ke atas (kayangan)". Oleh karena itu, tidak tertutup pula kemungkinan bahwa di tanah Mandailing pulalah Siboru Deakparujar kawin dengan Siraja Odap-adap. Selanjutnya keturunan mereka lahir dan berkembang di tempat tersebut. Kemudian dapat dikemukakan hipotesis, bahwa setelah keturunan Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-odap berkembang di tanah Mandailing, generasi selanjutnya dari keturunan mereka, seperti misalnya Siraja Batak (keturunan generasi ke empat dari Siraja Miok-miok, atau generasi ke enam dari keturunan Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-odap) pindah ke tempat lain meninggalkan tanah Mandailing dan pergi ke tanah Toba. Kemudian di tempat itu ia berkembang. Dengan kata lain, berdasarkan penapsiran terhadap tonggo-tonggo Siboru Deakparujar, nenek moyang Siraja Batak, mulai dari Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-adap sampai kepada Guru Tantan Debata, yaitu ayah dari Siraja Batak sendiri, setelah besar kemudian meninggalkan tempat tersebut dan pergi ke tempat lain (tanah Toba).
Demikianlah hipotesis yang dapat ditarik dari penapsiran atas mitologi Siboru Deakparujar dan tonggo-tonggonya seperti yang telah diluraikan di atas.
Seperti yang telah dikemukakan terdahulu, nama Mandailing sudah disebut dalam kitab Negarakertagama di sekitar pertengahan abad ke 14. Namun demikian, sampai sekarang belum diperoleh satu kepastianpun tentang asal-usul nama tersebut. Tetapi ada beberapa pendapat yang pernah dikemukakan mengenai kemungkinan asal-usul nama Mandailing. Misalnya Dada Meuraxa menyatakan bahwa nama Mandailing ada yang menduga berasal dari perkataan "Mande Hilang". Dalam bahasa Minangkabau, perkataan tersebut berarti "ibu yang hilang". Selanjutnya ia menyatakan pula bahwa ada yang menyangka nama Mandailing berasal dari perkataan "Mundailing", yang berarti "Munda yang mengungsi". Dalam hubungan ini disebut bahwa bangsa Munda di India pada masa yang silam melakukan pengungsian karena mereka terdesak oleh bangsa Aria. Tentang terdesaknya bangsa Munda oleh bangsa Aria Prof. Dr. Slametmulyana mengatakan: "Sebelum kedatangan bangsa Aria, bangsa Munda menduduki India Utara. Karena desakan bangsa Aria, maka bangsa Munda menyingkir ke selatan. Pendudukan bangsa Aria itu terjadi di sekitar tahun 1500 sebelum Masehi. Bangsa Munda pindah ke luar dari daerah India menuju Assam dan Asia Tenggara, setelah terjadi pendudukan lembah sungai Gangga oleh bangsa Aria dalam keseluruhannya". (Slamet Mulyana 1964 : 140).
Dalam perpindahan bangsa Munda dari India Utara ke Asia Tenggara karena terdesak oleh bangsa Aria, kemungkinan ada sebahagian yang sampai ke Sumatera. Dan melalui pelabuhan Barus di pantai barat Sumatera mereka meneruskan perjalannya sampai ke suatu daerah yang kemudian disebut sebagai Mandailing, yang berasal dari perkataan "Mundailing" yang berarti "Munda yang mengungsi" (meninggalkan negeri asalnya), seperi yang dikemukakan Dada Meuraxa tersebut di atas. (Lihat buku Dada Meuraxa "Sejarah Kebudayaan Sumatera").
Mengenai jalan masuk bangsa Munda tersebut dari pantai barat Sumatera, yaitu pelabuhan Barus, dapat diingat bahwa tempat tersebut beberapa abad sebelum tahun Masehi memang sudah banyak didatangi berbagai bangsa, dan menjadi pelabuhan yang sangat terkenal karena kapur barusnya. Dan di Barus pada masa yang lalu pernah terdapat koloni orang Tamil yang juga berasal dari India.
Dada Meuraxa menyatakan pula bahwa ada yang menyebut asal nama Mandailing ialah (perkataan) Mandalay, yaitu nama satu ibu kota di Birma.
Dalam hubungan ini dapat kita lihat pendapat Drs. T.E. Tarigan dan Emilkam Tambunan yang menyatakan bahwa "Di Birma Utara terdapat satu kota pusat peradaban dan pemerintah yang bernama Mandalay yang hampir sama dengan Mandailing di Tapanuli Selatan" (1974 : 17).
Dari sisi lain kiranya pendapat yang mengatakan nama Mandailing berasal dari perkataan "Mundailing" (=Munda yang mengungsi) dapat dihubungkan dengan pendapat yang mengatakan bahwa nama Mandailing berasal dari perkataan "Mandalay". Barangkali bangsa Munda yang didesak dari negeri mereka di India tidak langsung pindah ke Sumatera. Tetapi untuk satu kurun waktu mereka lebih dahulu hidup di daerah Birma atau Mandalay. Dikemudian hari dari Mandalay baru mereka pindah ke Sumatera, dan memasuki daerah Mandailing melalui jalan seperti yang dikemukakan di atas.
Proses perpindahan orang Munda dari Mandalay ke Sumatera (Mandailing) dapat pula dihubungkan dengan terjadinya perpindahan bangsa-bangsa dari Asia Selatan atau India Belakang ke wilayah Indonesia di masa lebih dari 1000 tahun sebelum Masehi. Menurut Mangaradja Onggang Parlindungan dalam bukunya yang berjudul "Tuanku Rao", perpindahan itu terjadi karena desakan bangsa Mongol dari utara. Ia mengatakan bahwa ada orang-orang dari Birma Selatan yang berlayar ke Indonesia dan sebahagian tiba di Sumatera.
Kemungkinan dalam proses perpindahan yang demikian itu, orang-orang Munda dari India yang pada mulanya berdiam di Mandalay (Birma Utara) karena terdesak oleh bangsa Mongol pindah ke Birma Selatan, dan karena terdesak terus merekapun berlayar ke Indonesia dan sebagian tiba di Sumatera dan menempati satu daerah yang kemudian dikenal sebagai daerah Mandailing.
Sekarang marilah kita lihat pula pendapat Mangaraja Lelo Lubis tentang asal-usul nama Mandailing, seperti yang dikemukakannya di dalam bukunya "Sopo Godang" dan Silipi Mandailing".
Di dalam buku tersebut dikemukakan oleh Mangaraja Lelo Lubis bahwa menurut cerita orang-orang tua, nama Mandailing berasal dari perkataan ”Mandala Holing”. Pada masa yang lalu ”Mandala Holing” adalah satu kerajaan yang meliputi daerah mulai dari Portibi di Padang Lawas sampai ke Pidoli di Mandailing (dekat Panyabungan yang sekarang). Pada mulanya pusat kerajaan tersebut terletak di Portibi, tempat ditemukan banyak candi=candi purba. Karena desakan Majapahit, maka kemudian dikenal sebagai Pidoli, yang letaknya tidak jauh dari Panyabungan: Pada masa yang lalu di Pidoli terdapat juga candi-candi. Sisa=sisanya antara lain terletak di satu tempat yang bernama ”Saba Biara”, di sekitar Pidoli.
Dalam hubungan ini dapat diingat bahwa candi-candi yang di Portibi, dinamakan orang juga ”candi biara atau biaro”. Perkataan biara itu kemungkinan sekali berasal dari ”vihara” yang berarti tempat peribadatan bagi agama Budha.
Kemungkinan adanya di masa yang lalu kerajaan yang bernama "Mandala Holing" di Tapanuli Selatan seperti yang dikemukakan oleh Mangaraja Lelo itu, dapat dihubungkan dengan ekspansi Majapahit untuk menguasai daerah atau kemungkinan kerajaan yang disebut dalam kitab Negarakertagama sebagai "Mandahiling". Kalau kerajaan "Mandala Holing" itu dihubungkan dengan candi-candi di Portibi, kiranya perlu diingat bahwa ada peneliti yang menyebut bahwa candi-candi tersebut dibangun sejak abad ke 10. Dan ada pula yang menyebutnya pada abad yang ke 11. Malahan ada pula yang menyebutnya pembangunan candi-candi tersebut dimulai abad ke 5. Sampai sekarang memang belum ada kepastian tentang masa pembangunan candi-candi di Portibi tersebut.
Kalau kerajaan "Mandala Holing" itu adalah identik dengan daerah atau kerajaan Mandahiling yang disebut dalam kitab Negarakertagama, maka dapat dicatat bahwa ekspansi Majapahit terhadap kerajaan itu terjadi di sekitar pertengahan abad ke 14.
Perkataan "Holing" ada disebut-sebut di dalam masyarakat Mandailing hingga sekarang. Perkataan tersebut dihubungkan dengan perkataan "Surat Tumbago". Tetapi belum ada keterangan yang memadai apa yang dimaksudkan dengan "Surat Tumbago Holing" itu. Menurut keterangan Mangaraja Lelo Lubis kepada penulis, "Surat Tumbago Holing" ialah surat yang dibuat oleh Sang Hiyang Dipertuan Huta Siantar dengan Belanda. Kalau memang itulah yang dimaksudkan dengan "Surat Tumbago Holing", berarti surat tersebut baru lahir pada abad ke 19. Karena pada abad itulah Belanda memasuki daerah Mandailing. Penggunaan nama "Surat Tumbago Holing" untuk surat perjanjian yang dibuat oleh Sang Hiyang Dipertuan Huta Siantar dengan Belanda di abad yang lalu, barangkali didasarkan oleh Sang Hiyang Dipertuan atas asosiasinya terhadap "Surat Tumbago Holing" yang mungkin pernah dibuat pada masa kerajaan "Mandala Holing" yang banyak disebut-sebut di tengah masyarakat Mandailing.
Masih ada keterangan lain yang dikemukakan oleh Mangaraja Lelo Lubis tentang asal usul nama Mandailing. Yaitu bahwa nama Mandailing berasal dari perkataan "Mandala Hilang". Dalam hal ini dijelaskan bahwa pada suatu masa orang-orang Mandala yakni orang-orang "koling" (keling) mendiami wilayah Mandailing. Pada waktu bangsa Melayu memasuki daerah tersebut, orang-orang Mandala (koling=keling) pergi ke tempat lain. Oleh karena itu orang-orang Melayu mengatakan "Mandala Hilang". Dan lama kelamaan sebutan itu berubah menjadi "Mandailing".
Dengan adanya pendapat yang demikian ini, kita terdorong untuk berpikir, apakah tidak mungkin bahwa yang dimaksud dengan orang-orang Mandala (koling) itu adalah orang-orang yang pada masa dahulu kala datang dari Mandalay (Birma) ke Wilayah Mandailing. Dan orang-orang yang datang dari Mandalay itu tidak lain dari orang-orang Munda yang pada mulanya mengungsi dari India ke Birma karena didesak oleh bangsa Aria seperi yang telah dikemukakan terdahulu dalam tulisan ini. Dalam hubungan ini nama "Mandala" berdekatan benar dngan nama "Mandalay".
Semua pikiran itu masih bersifat hipotesis dan masih memerlukan penelitian yang lebih mendalam. Demikian juga halnya dengan asal-usul nama Mandailing. Oleh karena itu masaalah ini dapat ditempatkan sebagai tantangan bagi putera-puteri Mandailing untuk diteliti lebih lanjut. Mudah-mudahan saja ada di antara mereka yang berminat untuk menelitinya, sehingga asal-usul nama Mandailing itu tidak tinggal menjadi teka-teki untuk selamanya.
Dipetik dari buku KISAH ASAL- USUL MARGA DI MANDAILING karya Z. Pangaduan Lubis
Z. Pangaduan Lubis
Bangsa Mandailing: Bukan Batak dan Tidak Melayu
Bangsa Mandailing: Bukan Batak dan Tidak Melayu
Oleh Abdur-Razzaq Lubis
Islam hanya mengakui 'ketunggalan' semata bagi Zat Allah subhana wa ta'alla, dan tidak bagi makhluk dan seluruh alam. Selain dari Zat Allah, kejadian dan penciptaanNya berdiri di atas kemajemukan termasuk dunia makhluk (manusia, haiwan, dll.). Malah kemajemukan adalah satu 'ayat' (tanda kekuasaan) dan kebesaran Allah dari ayat-ayat Allah dalam penciptaan.
Allah subhana wa ta'ala menciptakan perbedaan pada bentuk tubuh badan, raut rupa, warna kulit, suara - desah dan kerasnya, ketajamannya, kelembutannya, kefasihannya, bahasanya, susunan kata-katanya dan gaya bicaranya. Getaran suara masing-masing manusia, tidak ada yang sama, meskipun mereka kembar sekalipun. Perbedaan dalam pengucapan ini adalah satu ayat dari ayat-ayat Allah subhana wa ta'ala.
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui." ar-Rum: 22
Ayat tersebut di atas menunjukkan sifat kemajemukan atau pluralitas dalam kejadian manusia, yang membuahkan perbedaan mengikut kebangsaan dan suku, supaya masing-masing bangsa dan suku ta'aruf (saling mengenal) perbedaan yang berbeda-beda itu.
Dalam Islam, kemajemukan, berdasarkan tabiat asli, kecenderungan individu, dan perbedaan bangsa-bangsa dan suku-suku terangkum dalam fitrah (kebersihan atau kejernihan asli) yang menjadi sebagian dari sunnah (ketentuan) dari sunnah Allah subhana wa ta'ala, yang tidak dapat berubah dan tidak tergantikan. Maka, kemajemukan, pluralitas dan perbedaan adalah sunnah.
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
al-Hujurat: 13
Kemajemukan dalam ayat tersebut mengungkap pluralitas perbedaan bangsa-bangsa dan kabilah-kabilah dengan hikmah agar ber-ta'aruf(saling mengenal) di antara semua umat manusia. Ia menolak ketaksuban (fanatism) bangsa dan ras terhadap bangsa dan ras lain. Sekaligus menolak monopoli kebaikan dan kelebihan bagi satu umat saja tidak kepada umat lain. Kebaikan dan keburukan itu merupakan sifat asli suatu bangsa atau umat yang tidak dapat berubah. Setiap kelompok manusia mempunyai kesempurnaan dan kekurangan. Ini berarti kebaikan, keutamaan, kejahatan dan kekurangan terdapat pada seluruh makhluk. Pengertian ini membawa pada rasa bangga terhadap kekhasan dan keutamaan yang dimiliki tanpa mengingkari kekhasan dan kelebihan bangsa dan suku lain.
Dalam syariat-syariat dan manhaj-manhaj, dan selanjutnya peradaban-peradaban terutama umat-umat yang menerima risalah-risalah agama, kemajemukan merupakan pokok, kaidah yang abadi, dan sunnah Ilahiah. Ini berperanan sebagai pendorong untuk saling berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan, sebagai iktibar untuk mengambil teladan dari kemajuan dan ketinggian martabat mereka di sisi Allah.
"Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan, untuk itulah Allah menciptakan mereka..." Hud: 118-119
"...untuk itulah Allah menciptakan mereka," seakan-akan kemajemukan itu sebagai illat sebab keberadaannya kewujudan ini.
"...Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya suatu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu." al-Maa'idah: 48
Kemajemukan adalah pendorong menghadapi ujian, cobaan, kesulitan dan saingan di antara bangsa-bangsa dan suku-suku yang berbeda dalam syariat, manhaj dan peradaban, berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan, kebajikan dan berkarya untuk keberuntungan di dunia dan di akhirat.
Ini adalah sunnah dari sunnah-sunnah Allah subhana wa ta'ala yang tidak tergantikan dan tidak berubah, yaitu kemajemukan dan perbedaan dalam kemanusian. Kemanusian yang satu dalam Islam adalah umat, bangsa, ras, kabilah, lidah, bahasa, warna kulit, yang beragam, mempunyai kekhasan tersendiri, plural/majmuk serta berbeda.
Untuk berdirinya satu umat/bangsa, mereka tidak harus mempunyai asal yang satu, bahasa yang satu, agama atau ras yang satu. Suatu umat/bangsa itu boleh berdiri di atas kesatuan sejarah, serta adanya unsur-unsur kebudayaan yang sama. Dalam kata-kata lain, umat adalah sekelompok manusia yang disatukan oleh sesuatu hal, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok lain. Faktor yang menyatukan ialah tabiat, sifat, bawaan, ikatan-ikatan darah, nasab, sosial, bahasa, dll.. Campuraduk antara umat/bangsa dan 'negara'/nasionalisme adalah hasil pengaruh pemikiran Barat.
Definasi umat termasuk kelompok dan jenis dari tiap makhluk selain manusia.
"Dan, tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu..." al-An'am: 38
"Semut adalah suatu umat." HR Muslim
Jelaslah dari keterangan-keterangan di atas bahwa orang-orang Mandailing yang punya ikatan darah, nasab, bahasa, aksara, sistem social (Dalian Na Tolu), muzik yang istimewa, adat, urf' (kebiasaan harian), sifat, tabiat, fitrah, yang punya peradaban/tamadun dan warisan budaya tersendiri adalah suatu umat yang berbeda dari bangsa Batak dan Melayu. Keberadaan, penciptaan dan kejadian bangsa Mandailing itu adalah satu tanda/ayat dari ayat-ayat kebesaran dan kekuasaan Allah subhana wa ta'ala, dan ketetapan sunnahNya, yang tidak berubah dan tidak tergantikan.
Bangsa Mandailing dibatakkan Belanda
Nama Mandailing sudah diketahui sejak abad ke 14 lagi, dan ini menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing, yang barangkali telah muncul sebelum abad itu lagi. Nama Mandailing tersebut dalam kitab Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M. Batak tidak disebut sekalipun dalam kitab tersebut.
Nama Batak itu sendiri tidak diketahui dengan pasti asal-usulnya. Ada yang berpendapat istilah Batak itu digunakan oleh orang pesisir seperti orang Melayu untuk memanggil orang di pedalaman Sumatra, Batak, sepertimana orang Melayu memanggil 'orang asli', Sakai dan Jakun. Tapi orang pedalaman sendiri tidak membahasakan diri mereka, Batak. Kemudian panggilan ini dipetik oleh pengembara seperti Marco Polo, Ibnu Batutah, dan diambil oleh Portugis dan orang-orang dari atas angin dan bawah angin, hinggalah ke ini hari.
Bila Belanda menguasai kesultanan-kesultanan Melayu mereka bukan saja memasukkan kesultanan-kesultanan tersebut ke dalam sistem kolonial, sekaligus mereka juga mengambil-alih pemisahan Batak-Melayu. Persepsi Belanda terhadap orang-orang pedalaman termasuk terhadap bangsa/umat Mandailing dipengaruhi oleh persepsi kesultanan-kesultanan Melayu dan Minang, dan orang-orang pesisir, yang mereka dului berinteraski.
Lama-kelamaan memBatakkan bangsa/umat Mandailing membudaya dalam persepsi, tanggapan, tulisan-tulisan, dan sensus administratif Belanda hinggakan sesetengah orang Mandailing sendiri mulai melihat diri mereka dari persepsi penjajah yang melihat dari kacamata Melayu. Bangsa/umat Mandailing dikatogerikan bersama-sama dengan bangsa Toba, Pak-pak, Diari, Simalungun dan Karo untuk tujuan administratif umum di samping menjadi sasaran zending/Kristenisasi.
Pandangan berikut dari sarjana-sarjana Barat seperti Lance Castles adalah tipikal.
"The use of 'Batak' as a common label for these groups (Toba, Mandailing dan Simalungun) as well as the Karo and Dairi has a chequered career. Linguists and ethnologists have always found the term necessary because of the strong common elements in all these societies. At some periods, however, those who were converted to Islam, especially Mandailings, have sought to repudiate any association with the non-Muslim Tobas by rejecting the Batak label altogether. This tendency has been strongest among Mandailing migrants to the East Coast of Sumatra and Peninsular Malaysia."
(Pengunaan istilah 'Batak' sebagai label yang umum untuk kelompok-kelompok ini (Toba, Mandailing dan Simalungun) sebagaimana juga dengan Karo dan Dairi mempunyai sejarah yang berpetak-petak. Ahli-ahli bahasa dan etnologi senantiasa mendapati bahwa istilah ini merupakan istilah yang diperlukan dikarenakan adanya elemen umum yang kuat di dalam tiap-tiap kelompok ini. Pada periode tertentu, mereka yang kemudian memeluk Islam, terutama orang Mandailing telah berusaha untuk tidak dihubungkan sama sekali - hubungan dengan non-Muslim Toba dengan menolak label Batak secara keseluruhan. Kecenderungan ini telah terjadi terkuat di antara orang Mandailing perantauan di Pantai Timur Sumatra dan Semenanjung Malaysia.)
Sementara sarjana Barat seperti Susan Rogers Siregar, agak peka dan mengerti sedikit.
"Much of the Western literature asserts that there are six major Batak cultures: Toba, Karo, Dairi-Pakpak, Simalungun, Angkola, and Mandailing. This division into ethnic units is somewhat misleading, however, since villagers often have little use for such general words as 'Angkola' and identitfy themselves in much more local terms as members of a ceremonial league or a group of village clusters. The sixfold ethnic division may reflect relatively new ethnic designations as members of different homeland groups come into contact and competition with each other".
(Kebanyakan literatur Barat menegaskan bahwa ada enam budaya Budaya yang utama: Toba, Karo, Dairi, Pakpak, Simalungun, Angkola dan Mandailing. Pembagian ke dalam beberapa kelompok-kelompok etnik ini, menyesatkan, lantaran penduduk desa umum tidak banyak menggunakan perkataan seperti 'Angkola' dan mengidentifikasikan diri mereka dalam istilah yang lebih lokal sebagai 'anggota dari perhimpunan adat' atau sebuah kelompok perkampungan. Pembagian enam etnik tersebut mencerminkan secara relatif penunjuk-penunjuk etnik baru sebagai bagian dari kelompok-kelompok pribumi yang berbeda yang kebelakangan bertemu dan bersaing satu sama lain.)
Kebelakangan, sarjana-sarjana Indonesia (Indonesianists) dan antropolog terus memakai istilah Batak dengan alasan ianya "useful" (berguna) dan "necessary" (perlu). Pada akhirnya, sarjana-sarjana yang kononnya, menyelidik secara neutral dan objektif, sebetulnya bertanggungjawab mencipta identitas Batak dan memperkuat identitas Batak. Malah ciptaan mereka itu, mencorak dan mewarnai garis-garis besar ilmu mereka sendiri. Maka pemisahan Batak-Melayu itu berpanjangan hingga ini hari.
Bangsa Mandailing dimelayukan Inggeris
Kalau penjajah Belanda melabelkan orang Mandailing sebagai Batak, penjajah Inggeris melabelkan orang Mandailing sebagai "foreign Malays" (Melayu dagang). Di satu pihak, orang Mandailing disebut Batak Mandailng, dan di pihak yang lain, disebut Melayu Mandailing.
Penjajah Inggeris memakai stilah "foreign Malays" untuk merujuk kepada orang Mandailing dengan alasan kemudahan administratif (administrative convinience). Pada mulanya, kategori Mandailing dan Batak terpisah dalam sensus-sensus British Malaya, kemudian kedua kategori tersebut dihapuskan menyebabkan orang Batak mahupun orang Mandailing pilih 'masuk Melayu' atau menjadi Melayu dalam pengambilan sensus.
Meskipun berabad-abad orang-orang Batak sudah 'masuk Melayu', pemisahan Batak-Melayu terus kekal. Hinggakan proses memelayukan orang-orang Batak termasuk bangsa/umat Mandailing yang dikategorikan sebagai sub-Batak itu, berkelanjutan hingga masakini. Apakah muslihat dan strategi penjajah dan sarjana-sarjana Barat mahu menghapuskan kemajemukan kebangsaan bangsa-bangsa lain di Sumatra Utara supaya bertuankan Batak? Apakah muslihat dan strategi penjajah dan sarjana-sarjana Barat mahu menghapuskan kemajemukan kebangsaan bangsa-bangsa Nusantara yang kedapatan di Semenanjung supaya bertuankan Melayu?
Bermula dengan rekayasa sosial engineering kolonial Belanda dan British, disusuli proses Malayanisasi (kemudian Malaysianisasi) dan Indonesianisasi yang berlaku sejak dari abad ke 19 sampai sekarang menerusi pendidikan nasional, polisi kebudayaan nasional dan nasionalisme Melayu dan Indonesia. Ciri-ciri khusus kebangsaan bangsa/umat Mandailing seperti bahasa dan aksara, digugat dan kemudian terhapus sama sekali atas nama asabiah (fanatik perkauman) pembangunan nasional, identitas nasional dan kesatuan nasional.
Rumusan
Pada tahun 1920an, alim ulamak dan pemuka-pemuka Mandailing telah memprotes percobaan orang-orang Batak-Islam termasuk orang Mandailing yang mengaku Batak, untuk dikuburkan di tanah perkuburan Sungai Mati. Alim ulama dan tokoh-tokoh Mandailing berhujah bahwa wakaf tanah perkuburan Sungai Mati hanyalah untuk jenazah-jenazah orang-orang Mandailing saja. Orang-orang Batak khusus Angkola termasuk Mandailing yang mengaku Batak, tidak pantas dikuburkan di perkuburan itu.
Pejuang-pejuang kebangsaan bangsa Mandailing membawa kasus/kes ke mahkamah syariah Sultan Deli dengan keterangan bahwa tanah perkuburan bangsa Mandailing di Sungai Mati, Medan, adalah semata-mata untuk bangsa Mandailing. Mereka yang berbangsa selain Mandailing, tidak boleh dikuburkan di situ. Mahkamah syariah Sultan Deli mendeklarsi bahwa bangsa Mandailing terpisah dan berdiri sendiri dari bangsa Batak. Kemudian bangsa Batak membawa kasus tersebut di mahkamah sibil di Batavia, Jawa. Mahkamah tersebut, mahkamah tertinggi di Hindia Belanda mendeklarasikan bahwa bangsa Mandailing bukan Batak.
Kasus jati diri tersebut dibukukan oleh Mangaradja Ihoetan dalam buku Asal-Oesoelnja Bangsa Mandailing (Pewarta Deli, Medan, 1926). Dalam pengantarnya kepada buku itu, Mangaradja Ihoetan menjelaskan maksud buku itu disusun "...hanjalah kadar djadi peringatan di-belakang hari kepada toeroen-toeroenan bangsa Mandailing itoe, soepaja mereka tahoe bagaimana djerih pajah bapa-bapa serta nenek mojangnya mempertahankan atas berdirinja kebangsaan Mandailing itoe. Dengan djalan begitoe diharap tiadalah kiranja mereka itoe akan sia-siakan lagi kebangsaanja dengan moedah maoe mehapoeskannja dengan djalan memasoekkan diri pada bangsa lain jang tidak melebihkan martabatnja".
“...Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu...” (al-Hujurat: 13. )
Jelas ketinggian dan kemulian tercapai dengan takwa bukan dengan memasukkan bangsa Mandailing ke dalam bangsa Batak maupun Melayu demi agenda nasionalisme, asabiah/fanatik kebangsaan dan negara-bangsa yang hakikat/entitinya berlawanan dengan Islam.
Justru kategori-kategori Batak-Mandailing dan Melayu-Mandailing, tidak menepati jati diri bangsa/umat Mandailing, bangsa/umat Mandailing hendaklah menolaknya bulat-bulat sebagai sisa-sisa peninggalan penjajahan fisikal mahupun mental. Dan tidak terjebak dalam proses globalisasi yang mencita-citakan penghapusan kebangsaan bangsa-bangsa dan bahasa-bahasa dalam Tata Dunia Baru (New World Order), di mana manusia direncanakan menjadi warga perbankan dunia!
Langganan:
Postingan (Atom)